Weekend ke 16 – Lucky | Song: Gita Gutawa – Tak Perlu Keliling Dunia

Dimana ini. Begitu hangatnya. Tanganku mencoba meraih apa saja. Benda yang kusentuh ini bertekstur aneh, mirip dengan tekstur boneka Tata di rumah. Tapi, aku kini beribu-ribu kilometer dari rumah. Aku..

“Aah, good morning, Sir

Seorang perempuan bule, rambutnya merah.. Baru kali ini aku bertemu langsung dengan seorang berambut merah.. Aku baru melihatnya saja di beberapa film Harry Potter dan sekarang, live.

“Seenaknya saja, kau menyapaku dan pingsan! Kalau kubawa ke munich kau bisa mati duluan di jalan!”

Aku mungkin demam begitu tingginya hingga aku mendengar seorang bule berbicara dalam bahasa Indonesia dengan fasihnya.

“Rinaldi kan namamu? Aku Erena, beruntung sekali kau bertemu aku, ibuku asli Indonesia. Aku pernah tinggal di sana hingga lulus SMA.”

Aku mengangguk saja. Suara belum bisa keluar dari tenggorokanku.

“Kau pulihkan tenaga saja dulu! Jerman begitu dingin, kau baru saja terkena hipotermia. Di luar sana sedang badai salju.”

Aku mengangguk lagi.

“Satu lagi, yang kau pegang itu bra-ku. Jangan kau genggam seperti itu! Terimakasih”

Aku melepaskan genggamanku pada benda itu.

***

Aku mencoba bangun. Di luar selimut begitu dinginnya, sehingga kupinjam dulu selimut tebal ini. Aku menemui Erena di ruang tengah sedang menonton siaran tivi lokal yang meliput serangan badai salju. Dia menyadari kedatanganku dan memberikan tempat buatku untuk duduk.

“Besok pun sepertinya masih badai. Kamu, siapa tadi namamu? Mau pergi kemana?”

“Ah, Rinaldi, tapi bisa panggil Rey saja. Aku ingin ke kota Wina. Aku harus naik apa saja?”

“Wina?? Kenapa turun di Jerman? Seharusnya langsung saja di Austria!”

“Ah aku pikir Wina di Jerman”

“Nilai geografimu berapa? Austria ada di selatan Jerman. Untuk ke Wina, seharusnya naik kereta saja tapi karena badai salju…”

“Aku harus menunggu sehari di Jerman. Setelah sembuh aku akan mencari penginapan. Tenang saja.”

“Bisa saja kau tinggal di sini sementara. Ini bukan Indonesia, kau bisa tinggal bersama pasangan lawan jenis yang tidak resmi  tanpa dikomentari”

“Ah terimakasih. Aku akan tidur di sofa saja.”

“Tamu yang baik. Apa kau bawa sesuatu dari Indonesia? Indomie? Kau bawa Indomie?”

“Sebentar, aku bawa 5 bungkus.”

“Good lord!”

***

Sambil menyeruput satu mangkok Indomie rebus, aku merasa kembali ke tanah air. Erena mungkin karena sangat lapar sudah menghabiskan indomienya beberapa menit yang lalu.

“Bagaimana kabar Indonesia?”

“So far so good”

“Masih sering rusuh? Banjir? Macet?”

“Masih”

“Betah?”

“Indonesia, kampung halamanku”

“Hahaha, tapi kampung para koruptor juga. Berapa dana yang dipakai pemerintah? Indonesia sudah berapa tahun merdeka? ABG di sini saja tidak tahu ada negara bernama Indonesia di Asia sana”

“….”

“Lihat juga dirimu, kenapa kamu ke sini? Ke Wina? Apa pendidikan di sana tidak mendukung mimpimu? Impian anak muda Indonesia apa coba? Kuliah ke luar negeri! Backpacking ke Asia, Eropa. Bukankah itu lucu? Seburuk itukah negaramu?”

“Aku. Kesini memang untuk mimpiku. Menjadi sarjana musik. Di Indonesia memang belum ada kampus yang bisa memfasilitasi mimpi ini.”

“Tuh kan? Pasti karena alasan tidak komersil lah. Apa-apa di sana dihitung dengan nilai pasar. Mereka tidak tahu, yang bisa diekspor bukan hanya barang fisik, konten budaya dan seni pun bisa.”

“….”

“Setelah lulus pun, apa kamu mau kembali ke Indonesia? Gelar sarjana musikmu tidak akan berlaku di sana! Seorang Habibie saja tidak dihargai di negerinya sendiri. Apalagi kamu dan gelar sarjana musikmu!”

“….”

“Ah maaf, aku selalu emosi bila berbicara tentang negerimu itu”

“Jika kamu memiliki setengah darah Indonesia, Indonesia juga negerimu. Sebenarnya, walau seperseratus atau sepersejuta darahmu darah Indonesia, Indonesia adalah kampung halamanmu. Aku tidak tahu, mungkin aku sudah sangat cinta butanya pada Indonesia. Berkali-kali dikecewakan oleh pejabat, aparat, pemerintah masih saja aku dan beberapa rakyat Indonesia lainnya menyimpan harapan Indonesia akan lebih baik”

“….”

“Aku tidak tahu. Aku merasa beruntung dilahirkan di sana. Negeri dengan limpahan sinar matahari full 12 jam. Dengan kesialan yang ada justru beberapa dari kami masih optimis Indonesia akan lebih baik. Mungkin tidak saat ini, tapi suatu hari nanti. Harapan itu pasti ada”

“Dasar, orang Indonesia memang keras kepala dan susah dimengerti.”

“Memangnya dimana ibumu sekarang? Masih di Jerman?”

“Dia di Indonesia. Entah dimana”

“Oh, maaf”

“Tidak apa-apa, buatkan saja satu bungkus lagi indomie sebagai permintaan maaf”

“Indomie juga buatan Indonesia, Erena..”

“Buatkan saja jangan bawel! Dasar tamu tidak sopan!”

***

Ruangan ini penuh dengan aroma indomie. Kali ini Erena menikmati indomienya. Dimakannya perlahan.

“Dulu aku dianggap aneh karena rambutku yang merah. Manusia selalu membenci yang tidak mirip dengannya, kan?”

“Dulu waktu kamu tinggal di Indonesia?”

“Iya.”

Tayangan di TV kemudian menghilang. Suasana berubah menjadi sangat canggung.

“Badai saljunya begitu parah. Parabola tv pasti patah dan bergeser dari posisinya.”

“Di Indonesia, tidak ada salju”

“Ya iyalah, kiamat dong kalau di negara tropis turun badai salju! Indonesia sangat panas. Apalagi Jakarta!”

“Dulu aku begitu ingin merasakan turunnya salju. Siapa yang tahu, aku hampir mati karena salju. Hahahaha”

“Dulu aku juga begitu. Aku mengambil botol sirup yang kubawa dari Indonesia dan membuat es serut dari salju.”

Gadis ini. Tidak pernah benar-benar membenci Indonesia. Begitu banyak dia bercerita pengalamannya di Indonesia ketika ia masih tinggal di sana.

“…kemudian si guru sd ngomong, ‘neng masih kecil rambutnya udah diwarna-warna?’.. Hei.. Kenapa kamu senyum-senyum?”

“Erena, jika suatu hari nanti kamu datang ke Indonesia, datang ke rumahku ya. Aku punya adik perempuan yang bawelnya mirip sama kamu. Namanya Tata. Hahaha.”

“Memangnya siapa yang mau kesana? Ogah!”

Kriing. Suara telepon rumah berbunyi. Erena bangkit dan menerima telepon tersebut. Wajahnya yang datar dan tidak bersemangat menerima telepon berangsur-angsur menjadi sangat sedih. Beberapa tetes air mata sempat mengalir sebelum ia seka. Tak berapa lama ia menutup telepon itu.

“Speak the devil, kamu tahu siapa yang menelepon, Rey?”

“Gak tahu, saudaramu? Apakah ada yang tertimpa musibah? Aku ikut berduka.”

“Ibu.. Ibuku barusan menelepon. Dia bilang dia khawatir, dia melihat berita badai salju di TV dan kemudian menanyakan nomor ini kepada Ayah. Setelah beberapa tahun, dia seenaknya menghilang dan sekarang seenaknya dia menanyakan keadaanku..”

Listrik kemudian mati. Mungkin pemadaman karena gangguan badai. Erena tidak bisa menahan tangis dan menangis dalam gelap. Aku hanya bisa memberikannya tisu atau sebentuk kain buat menyeka airmatanya. Mungkin di Indonesia sana keluargaku pun sama khawatirnya dengan Ibu Erena. Apalagi ibunda dan di sini aku belum punya nomor yang bisa dihubungi. Suasana ruangan ini berangsur-angsur senyap, hanya ada suara tetangga Erena yang sepertinya memaki PLN di sini dengan bahasa Jerman dan juga isak tangis Erena.

“Rey..”

“Ya?”

“Ini bukan tisu. Ini bra ku yang kau lempar tadi”

“Waaa!”

***

“Kereta ini akan membawamu langsung ke Vienna atau Wien atau Wina, di AUSTRIA”

“Iyaaaaa aku tahu.”

“Berhati-hatilah, jaga selalu paspor dan ingat-ingat kapan visa-mu habis. Kementerian luar negeri Indonesia tidak begitu pandai dalam lobi-lobi internasional sehingga tidak memudahkan perjalanan rakyatnya di luar negeri”

“Mulai lagi..”

“Hahaha. Senang mengenalmu, Rey. Lain kali jangan pingsan di depan orang tak dikenal”

“Terimakasih sudah menolongku kemarin. Baru beberapa hari di luar negeri, aku sudah berhutang nyawa”

“Kalau kau ke Indonesia lagi bawa saja sekardus Indomie, sebagai tanda terimakasihmu”

“I will. Bye, Erena”

“Bye”

Seorang Erena membuatku sedikit galau akan jadi apa aku setelah ini? Kereta bergerak perlahan. Perjalanan 1-2 hari ini menuju Wina, jantung musik Eropa. Aku takut tapi aku pasti bisa. Ini mimpiku.

Image

3 pemikiran pada “Weekend ke 16 – Lucky | Song: Gita Gutawa – Tak Perlu Keliling Dunia

  1. “mungkin aku sudah sangat cinta butanya pada Indonesia. Berkali-kali dikecewakan oleh pejabat, aparat, pemerintah masih saja aku dan beberapa rakyat Indonesia lainnya menyimpan harapan Indonesia akan lebih baik”

    Hiks, terharu bacanya…… 😦
    btw, akhirnya muncul juga kisah Rey dan Tata… 😀

    Suka

  2. “Indonesia, kampung halamanku”.
    emang yah, biapun gimana juga bentuk wujud Indonesia sekarang, biar gmn yang namanya tanah air g bisa digeser oleh apapun di hati.
    tapi…. sumpah itu parah banget geografinya!! masa Wina di Jerman!! XD *jejelin peta dora*

    Suka

Tinggalkan komentar